Pola Sapaan dalam Bahasa
Bugis: Ritual Harmoni yang Merekatkan
Oleh: Gusnawaty*
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Jalan Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea
Makassar, 90245
Telepon (0411) 587223
Pos-el: gusnawaty@yahoo.com
1. Abstrak
Bahasa Bugis seperti halnya
bahasa-bahasa di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam menyapa pendengarnya.
Tipe sapaan bermakna menghormati pendengar dengan cara yang tidak berlebihan. Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan pola-pola sapaan dalam bahasa Bugis demi
meningkatkan harmonisasi pergaulan dalam lingkup masyarakat.
Sumber data adalah masyarakat
tutur Bugis yang berada di kabupaten Bone dan Kabupaten Sidrap. Pemilihan atas
lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan keterwakilan penutur Bugis
pada umumnya. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan merekam
percakapan-percakapan yang terjadi secara alamiah antara penutur dan pendengar
bahasa Bugis dalam konteksnya.
Hasil penelitian menunjukkan, ada tiga pola sapaan dalam
bahasa Bugis yang masih berlaku yang dikaitkan dengan kekuasaan dan
solidaritas, yakni: a) pola sapa paling berjarak, b) pola sapa berjarak, dan c)
pola sapa agak berjarak.
Disimpulkan, penutur Bahasa Bugis perlu mematuhi
kaidah-kaidah sosial dalam bertutur demi meningkatkan harmonisasi dalam
bermasyarakat.
Kata Kunci: Bahasa Bugis, pola
sapa, pragmatik, kesantunan
2. Pengantar
Bahasa Bugis salah satu bahasa yang paling luas digunakan di
Sulawesi Selatan. Penuturnya sekitar empat juta jiwa. Kabupaten-kabupaten di
Sulawesi Selatan yang didominasi oleh orang Bugis yakni Bone, Soppeng, Wajo,
Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, dan Parepare. Sedangkan kabupaten lain seperti
Bulukumba, Maros, dan Pangkep ‘dihuni’ dua bahasa yakni bahasa Makassar dan
Bugis.
Seperti halnya bahasa-bahasa lain di dunia, di dalam bahasa
Bugis juga mencerminkan struktur sosial para pelaku komunikasi yang terlibat di
dalamnya. Bahasa yang digunakan dalam bertutur merepresentasikan siapa dan
kepada siapa tuturan tersebut ditujukan. Hal ini dikarenakan adanya suatu azas
dalam bahasa Bugis yang disebut mappasitinaja
(kepatutan, kewajaran) dan mappalaiseng
(pembedaan). Untuk mewujudkan azas mappalaiseng,
seseorang penutur bahasa Bugis perlu mengetahui atau memahami strata dan status
masing-masing pihak agar dapat digunakan kata atau bentuk sapaan yang sitinaja
(pantas) diucapakan pada lawan tutur.
3. Landasan Teori
Sejalan dengan azas mappalaiseng
dan sitinaja seperti dikemukana di
atas maka pada penelitian ini diterapkan teori yang dipopulerkan oleh Brown dan
Levinson (1987). Teori ini mengemukakan bahwa agar maksud komunikasi dapat
tercapai maka pelaku komunikan perlu menggunakan strategi tertentu dalam berkomunikasi.
Strategi yang dimaksud berupa pilihan-pilihan kata sopan atau pantas karena
kalau tidak maka kontak komunikasi akan putus.
Ada dua hal yang mendasar dalam teori tersebut,
yakni rasionalitas dan muka. Rasionalitas
merupakan penalaran atau logika sarana tujuan, sedangkan ‘muka’ terdiri atas dua ‘keinginan’ yang berlawanan, yakni muka
positif dan muka negatif. Muka positif mengacu ke citra diri seseorang
bahwa segala yang berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (yang kalau tidak
dihargai, orang yang bersangkutan dapat kehilangan muka). Jadi muka positif ini merupakan representasi
dari keinginan untuk disenangi oleh orang lain sementara muka negatif adalah citra diri seseorang yang berkaitan dengan
tindakan yang ingin bebas atau tidak ingin dihalangi oleh orang lain (yang
kalau dihalangi, yang bersangkutan dapat kehilangan muka). Tindak tutur yang menjaga muka positif
disebut sebagai kesantunan positif, sedangkan kesantunan dalam bertutur untuk
menjaga muka negatif disebut dengan kesantunan negatif.
Menurut teori tersebut, sebagian besar tindak tutur
selalu mengancam keinginan muka para pelaku komunikan, dan bahwa kesantunan
terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut (Brown Levinson,
1987; Yule, 2006: 105-114; Eelen, 2001:4-6; Yassi, 1996: 6-8; Gusnawaty, 2011:
172).
Ada tiga variabel sosial yang menentukan kadar
kesantunan: Power (perbedaan
kekuasaan) yang dipersepsikan antara n dan t; Distance (perbedaan jarak) yang dipersepsikan antara mereka; dan Rank (peringkat atau rangking) kultur
tindak tutur, seberapa besar ‘ancaman’ atau ‘bahaya’ yang dipersepsikan ada dalam suatu kebudayaan tertentu.
Perhitungan ini dijabarkan dalam suatu rumus, di mana “x” menunjukkan tindak tutur, “S” (speaker) adalah n, dan “H”
(hearer) adalah pendengar atau t, rumusnya: x = D (S, H)+P(H,S)+Rx
4. Ruang Lingkup dan Metode
Strategi komunikasi Brown dan Levinson mencakup
lima kategori, yakni Strategi Terus Terang, Kesantunan Positif, Kesantunan
Negatif, Tuturan Samar-samar, dan Diam. Pada makalah ini yang akan dibahas
hanya kategori yang terkait dengan strategi kesantunan negatif. Hal ini pun
masih dibatasi hanya pada aspek pola sapa
dalam bahasa Bugis.
Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat
tutur bahasa Bugis di kabupaten Bone dan kabupaten Sidenreng Rappang. Pemilihan
atas lokasi tersebut didasarkan atas pertimbangan keterwakilan penutur Bugis
pada umumnya. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan merekam percakapan-percakapan
yang terjadi secara alamiah antara penutur dan pendengar bahasa Bugis dalam
konteksnya. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan sosiopragmatik.
5. Pola Sapa Bahasa Bugis
Pola sapaan adalah pola yang
mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk
menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku
itu ialah pembicara (orang pertama), yang di ajak bicara (orang kedua), dan
yang disebut dalam pembicaraan (orang ketiga). Kata atau ungkapan yang dipakai
dalam pola sapaan itu disebut kata sapaan. Misalnya, dalam bahasa Bugis untuk
istilah kekerabatan seperti, Puang, Etta “Ayah”, Indo “Ibu”, dan lain-lain.
Menurut Brown dan Gilman
(dalam Sulaiman 1990:3), pola sapaan juga didasarkan pada hukum pilihan dan
hukum koligasi bahwa bilamana seseorang memilih bentuk sapaan, maka sejalan
dengan itu pilihan senantiasa bersesuaian dengan bentuk klitika, baik proklitik
maupun enklitik yang menurut kehendak penyapa yang digunakan kepada yang
disapanya, serta dapat membentuk sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat
itu.
Ciri yang membedakan antara
istilah menyebut dengan menyapa dapat dikemukakan, bahwa istilah menyebut
dipakai menyatakan kedudukan seseorang dalam lingkungan kerabat, misalnya
sebagi orang tua, ipar, dan lain-lain. Sedangkan, istilah menyapa dipakai untuk
menyapa seseorang, misalnya ayah, ibu, kakak, pejabat, kepala desa dan
lain-lain.
Sapaan oleh penutur kepada petutur dilakukan secara
bervariasi. Perbedaan itu disebabkan
oleh faktor sosial dan usia peserta tutur. Seperti yang dikemukakan oleh Pelras
(1998:25) bahwa orang Bugis merupakan masyarakat yang kompleks dan terdiri dari
berbagai jenis tingkatan.
Bugis society is one of the most complex and
apparently rigidly hierarchical of any in the archipelago, with distinct strata
comprising several degrees of mobility.
Hierarki adalah sesuatu yang muncul berdasarkan kekuasaan.
Kekuasaan dalam masyarakat Bugis dapat dilihat dengan mempelajari asal-usul,
hubungan dengan peristiwa sebelumnya dan juga dengan status sosial. Status
sosial terbagi dalam dua kelompok yakni ascribed
status dan achieved status.
Turner (1988: 4) dalam Mahmud (2009:9) mengatakan bahwa ascribed status berkaitan dengan atribut yang dimiliki seseorang
yang berkaitan dengan keturunan, gender, atau umur. Sedangkan achieved status berkaitan dengan posisi
yang dimiliki seseorang seperti melalui pendidikan. Jadi ada status yang dibawa
sejak lahir seperti kebangsawanan ada pula status yang diperoleh seperti
kekayaan atau dengan mengikuti pendidikan. Status itu disebut dalam bahasa
Bugis sebagai abbatireng ‘keturunan,
titisan’ atau onrong ‘tempat’.
Berdasarkan variabel-variabel tersebut, secara garis besar ditemukan
ada tiga pola sapaan oleh penutur bahasa
Bugis kepada petuturnya, yakni (1) bentuk pernyataan hormat sangat berjarak
dengan menggunakan sapaan gelar (kebangsawanan/jabatan) dan struktur kalimat
orang ketiga, (2) pernyataan hormat berjarak dengan sapaan gelar
(kebangsawanan/jabatan), dan (3) pernyataan hormat dan sapaan tanpa gelar yang hanya
dikenali lewat enklitik honorifik –ki
yang digunakan penutur.
Ketiga pola sapaan tersebut diringkaskan dengan bentuk rumus
sebagai berikut.
a) Pola Sapa 1: Sangat
Berjarak
Struktur tuturan orang ketiga + Sapaan
Kebangsawanan + Nama Jabatan
Petta Gelar
agama
Puang Nama
diri (ku)
b) Pola Sapa 2: Berjarak
Struktur tuturan Kalimat + Sapaan Kebangsawanan
puang
Frase
aji
Kata
c) Pola Sapa 3: Agak Berjarak
Verba + enklitik honorifik (-ki)
Pola sapaan penghormatan di atas, terlihat berjenjang dari
yang paling santun ke paling kurang santun. Perbedaan strategi itu dipicu oleh
pencapaian status sosial yang dimiliki petutur. Dengan kata lain, apabila
petutur memiliki baik ascribed maupun
achieved status maka pola sapaan penghormatan yang digunakan penutur pada
petutur akan semakin kompleks (pola sapa 1). Selanjutnya, apabila petutur hanya
memiliki salah satu status, misalnya keturunan (ascribed), pola sapaan yang
digunakan adalah pola sapa 2.
Kemudian, ketika hanya konteks minus solidaritas dan situasi
publik yang menjadi penyebab lahirnya tuturan, seperti hubungan penutur dan
petutur sebagai tuan rumah dan tamu, kenalan biasa, dan lain-lain maka tuturan
yang lahir biasanya hanya menggunakan klitika honorifik (pola 3).
Berikut contoh pola sapa 1 dapat dilihat pada TB 1di bawah
ini.
(TB 1) Puang Kaya (Pk, ±60) dengan dg Ina (Di,
±35) sedang berada di dapur membuat kue
untuk persiapan suatu acara perkawinan. Di berbicara kalau selama
ini dicari-cari sanaknya yang bernama Puang Hawa. Dia berkata:
Di: Batena
puang Hawaku sappaka
Cara-nya puang Hawa-ku mencari-saya
‘Puang
Hawaku selama ini mencari-cari saya’
Dan TB 2 di bawah ini:
(TB 2) Dalam acara pesta perkawinan , Ibu Rahmi
(R, 44) menyuruh pak Camat (PC, ± 35) untuk
bersantap siang. Dia berkata:
R:
“Makessing kapang léccé’ni manré Petta Cama’”
Baik
mungkin pindah-dia makan petta cama’
‘Alangkah
baik mungkin bila Pak Camat pergi makan’
Contoh pola sapa 2 adalah tuturan TB 3 di bawah ini.
(TB 3) Puang Satiah (S, 53) ingin supaya Wan (W,
16) membuatkan sebuah sambel terasi yang menjadi pelengkapan sarapan pagi.
Puang S ingin supaya sambel itu dicobek saja supaya hasilnya kasar dan
memancing selera tetapi W ingin supaya sambel tersebut diblender supaya
tangannya tidak kotor.
S: “Abbuko dolo’ sambala’ W”
Buat-kamu
dulu sambal W
‘Buatlah sambal W’
W: “Ié’ puang. I Blender i puang?” ‘Ya,
puang. Saya blender ya puang?”
S: “Ja’na.
Cobé’ banni. Makessing ita kukassara’i” ‘
Jangan.
Cobek saja. Baik dilihat bila kasar
‘Jangan.
Cobek saja. Bagus dilihat bila kasar’
W:
Diam dengan muka ditekuk
Contoh dari tuturan masyarakat Sidrap terbatas pada pola 2 dan 3
seperti di bawah ini:
(TS
4) Tuan Rumah (TR, 60) merasa tidak nyaman karena menerima tamunya (T, 30) di
teras dan mengajak T masuk ke dalam ruang tamu.
TR: “Ku je’ ilaleng muttama’” ‘Di dalam masuk
(duduk)’
T:
“Ié
aji, mélona lésu, méloka lokka
mappaguru” ‘Ya Aji, saya sudah mau pulang karena mau pergi mengajar’
TR: “Lokka mai mujokka-jokka..”
‘Datang-datang selalu kemari jalan-jalan’
T: “Ia” ‘Ya’
Contoh pola sapa 3 adalah tuturan TB 5:
(TB
5) Cia (C, 40) bertemu dengan temannya yang bekerja sebagai guru di sekolah SD
Bone. C menyapa temannya itu
C: “Méttani
kué?”
Lama-sudah di sini?
‘Sudah lama (mengajar) di sini?
G: “Ié’”
‘Ya’
C:
“Engka tau biasa podakka makkada
nasappaki ibu Aji”
Ada orang dulu beritahu-saya bilang dia-cari-anda
ibu ani
‘Ada
yang beritahu katanya Anda cari saya’
Contoh lain dari masyarakat Sidrap,
(TS
6) FS heran melihat T mengambil kayu-kayu yang kelihatannya sudah tidak berguna
FS: “Loki magai yatu aji?”
mau-anda apakan itu aji
‘Untuk apa itu Aji?’
TA: “Yannasui jéé”
Dipakai memasaklah
‘Untuk memasak’
FS: “Oh, yannasui”
Oh dipakai
memasak
‘Oh, untuk memasak’
Analisis data menunjukkan pola sapaan bahasa Bugis tidak
sama dari satu daerah ke daerah yang lain. Bahasa Bugis dialek Bone misalnya
masih menggunakan tuturan sapaan yang lebih kompleks daripada tuturan bahasa
Bugis di tempat lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor sosial politik
masing-masing daerah.
Pola sapa 1 hanya ditemukan pada tuturan masyarakat Bone,
mereka menyapa para pejabat dengan sebutan puang
(+ jabatan) atau bapak (+jabatan) saja plus tuturran tidak langsung, sedangkan
pola sapaan yang demikian.
Penggunaan sapaan
tertentu bergantung pada situasi sosial. Sapaan yang salah sasaran
alih-alih dianggap menghargai malah akan menjadi bumerang bagi penuturnya
karena dianggap mengejek. Di pihak lain,
tidak menggunakan sapaan tertentu mencerminkan ketidaktahuan akan adat dan
dianggap tidak manusiawi.
6. Simpulan
Sapaan dalam Bahasa Bugis berkaitan aspek status dalam
masyarakat. Status tersebut dapat bersifat ascribed
dapat juga bersifat achieved status. Faktor-faktor penggunaan sapaan
dapat bersifat vertikal dapat juga bersifat horisontal. Selain itu, aspek yang
juga menentukan adalah situasi sosial tempat terjadinya tuturan.
7. Daftar Bacaan
Abas, Husen. 1982. Pemakaian Morfem-Terikat Honorifik di
Kalangan Penutur Asli Bahasa Bugis dari Berbagai Strata Sosial: Suatu Studi
Sosiolinguistik. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin
Alwasilah, Chaedar A., 2003. Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda
Brown, Gillian dan George Yule. (1985). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, Penelope and S.C. Levinson (1987) Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge
University Press.
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. I.
Soetikno (Penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Darwis, Muhammad. Dkk. 1992. Tingkat Tutur dalam Bahasa
Bugis. Ujung
Pandang: Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theory. Abdul Syukur Ibrahim (Penerjemah).
2006. Surabaya: Airlangga University Press
Foley, William. 1999. Anthropological
Linguistics: an Introduction. USA: Blackwell Publishers Inc.
Goffman, Erving. 1967. “On Facework: An analysis of ritual
elements in social intearaction”. In Jawrski, in Jawrski, A.,and Coupland, N. (eds.) The Discourse Reader, London,
Roterledge, pp. 306-321. Diakses
pada (http://en.wikipedia.org/wiki/Politeness_theory
tanggal 16 Nopember 2007).
Gusnawaty, 2010. “Relasi Strategi Kesantunan dan Kekuasan
dalam Bahasa Bugis: Aplikasi Teori Kesantunan Brown dan
Levinson terhadap Tuturan Bahasa Bugis”. Makalah disampaikan pada
Internasional Conference on Language Education 2nd. Makassar, 3-4
Desember 2010.
------------, 2011. "Kesantunan Positif dalam Bahasa
Bugis: Analisis Teks Percakapan dalam Interaksi Sosial."In Seminar
Internasional Serumpun Melayu V. Edited by F. Rahman, 385-397. Makassar:
Fakultas Ilmu Budaya.
------------, 2011. Perilaku Kesantunan dalam Bahasa Bugis:
Analisis Sosiopragmatik. Disertasi. Makassar: Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Levinson, Stephen C. 1979. "Pragmatics and social deixis." In Chiarello 1979 206–223.
-----------------------. 1989. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mahmud, Murni. 2010. Politeness
in Bugis, a Study in Linguistics Anthropology (Vol. I dan II). Makassar:
Badan Penerbit UNM
Malinowski, B. 1923. ‘The Problem of Meaning in Primitive
Languages’, dalam M.A.K. Halliday dan Ruqaya Hasan. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa
dalam padangan semiotik sosial. Ramlan (Penyunting). Yogyakarta: Gadjah Mada
Unversity Press.
Mills, S. 2003. Gender and
Politeness. Cambridge: Cambridge University
Press. (Online) Diakses pada
(http://en.wikipedia.org/wiki/Politeness_theory tanggal 16 Nopember 2007).
Turner, Bryan. S. 1988. Status.
Milton Keynes: Open University Press
Yassi,
Hakim Abdul.
1996. Negating and Affirming a
Proposition in Makassarese: A Cross-Cultural Communication Study. (Tesis
tidak diterbitkan). Australia: Department of Linguistics The University of Sydney, NSW.
No comments:
Post a Comment