DIGITALISASI NASKAH LONTARAQ
DI SULAWESI SELATAN
Oleh:
Dr. Gusnawaty, M. Hum.
Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
The purpose of the Media Transferring
Project and Lontaraq Script Socialisation in South Sulawesi is to transfer
Bugis Lontaraq Scripts written on paper to Compact Disks.
Method used in this project is taking the
images of the lontaraq scripts by using digital camera.
The Bugis Lontaraq scripts which have been
transfered were taken from three regencies in South Sulawesi: Wajo, Bone, and
Soppeng. And some scripts are from Makassar, and Jakarta.
The total lontaraq scripts topic that have
been captured and descibed are thirty topics. The topics are about governmental
system applied in Bugis: from the people’s attitude and way of speaking to
king, the kings’ way in governing their people, the succesful and fail
government, fair justice, the government characteristic to develop and sustain,
the characteristic of vulnarable government, leader election, the good characteristics
of a leader, the married and unmarried female’s way in associating, the
characteristics of vague-enemy staff, etc.
Generally, the Bugis lontaraq scripts were
vulnerable because of being dusty and old. The situation leads to recommend to
Local Government to transfer the lontaraq scripts into CDs. Then, the lontaraq
scripts can sustain and be read by the next generation.
Keywords: Digitalization, Local
knowledge, South Sulawesi
Pekerjaan Alih Media dan Sosialisasi
Naskah Lontaraq di Sulawesi Selatan bertujuan mengalihmediakan
naskah-naskah lontaraq Bugis yang
ditulis di media kertas ke media Compac
Disks. Metode yang digunakan adalah
dengan cara pemotretan atas naskah-naskah lontaraq tersebut dengan
menggunakan camera digital. Naskah-naskah
Lontaraq Bugis yang berhasil dialihmediakan, diperoleh dari tiga kabupaten di
Sulawesi Selatan: Wajo, Bone, dan Soppeng. Ada juga naskah dari Makassar, serta
Jakarta.
Topik naskah-naskah lontaraq yang berhasil dipotret dan dideskripsi
seluruhnya berjumlah 30 buah judul. Topik-topik tersebut semuanya bercerita
tentang sistem pemerintahan yang berlaku di daerah Bugis: mulai dari cara
bersikap pada raja, cara berbicara, cara memerintah, pemerintahan yang berhasil
dan tidak berhasil, hakim yang baik, ciri pemerintahan yang dapat tumbuh dan
bertahan, ciri pemerintahan yang akan runtuh, cara memilih pemimpin,
kriteria-kriteria yang sebaiknya dipilih
menjadi pemimpin, cara bergaul perempuan baik yang sudah menikah maupun yang
belum, ciri-ciri abdi/ staf yang (sesungguhnya) adalah musuh, dan lain
sebagainya.
Naskah-naskah lontaraq Bugis tersebut pada
umumnya sudah sangat sulit disentuh karena berdebu, dan kertasnya sudah rapuh.
Oleh karena itu, direkomendasikan kepada Pemda untuk segera mengalihmediakan
naskah-naskah lontaraq tersebut ke CDs. Agar naskah-naskah lontaraq tersebut
dapat bertahan dan dibaca oleh generasi mendatang.
Kata-kata kunci: Digitalisasi,
Kearifan Lokal, Sulawesi Selatan
Dalam era informasi ini, nilai-nilai luhur
suatu bangsa sebaiknya mudah dijangkau untuk dipelajari, dikaji dan
dikembangkan oleh generasi berikutnya demi kemaslahatan bersama. Tatkala dunia mengecil dan
batas-batas negara tidak lagi jadi penghalang dalam arus informasi, alangkah
tidak bijaknya suatu etnis atau negara bila masih menutup diri. Tepat juga bila
diingat peribahasa yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
terbuka dan tidak menutup diri bagi bangsa lain. Artinya, kebudayaan bisa berkembang dan besar jika terbuka untuk dipelajari oleh bangsa
lain. Sebagai contoh, nilai-nilai dan ajaran kapitalisme hingga kini masih
menguasai dunia. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan teknologi sebagai medianya
dalam penyebaran doktrin imperialismenya.
Dalam arus informasi yang semakin pesat,
kebudayaan berkembang dengan memanusiakan manusia menuju titik linear ”keuniversalan”. Batas-batas budaya semakin
tipis; tidak berujung pangkal dan tidak bertepi. Silang budaya semakin terbuka
memaknai keuniversalan budaya. Dengan demikian, manusia harus saling menyapa,
meramu, berakulturasi dalam membangun abdiluhung kemanusiaan.
Naskah-naskah kuno atau yang dikenal
dengan nama lontaraq adalah karya-karya literary
dari tradisi tulis yang besar di zamannya dan merupakan khasanah kepustakaan
dari sebuah tradisi yang besar. Persoalan yang ditulis di dalamnya sangat
beragam, misalnya dalam lingkungan istana masalah birokrasi dan kekuasaan
pejabat secara formal akan ditulis oleh seorang juru tulisi’
(sekretaris). Mereka mencatat berbagai kejadian dan hal-hal penting yang
terjadi di istana termasuk nilai-nilai demokrasi kepemimpinan orang Bugis-Makassar.
Sedangkan di lingkungan para intelektual kerajaan, mereka mencatat berbagai hal
yang menyangkut ilmu pengetahuan, hukum, etika, dan masalah kemasyarakatan.
Dengan demikian, terciptalah berbagai karya-karya besar berupa silsilah,
ramalan, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, ilmu
pelayaran, tuntunan keagamaan, undang-undang kenegaraan, perjanjian, berbagai
kisah tasawuf, pengobatan, ilmu persenjataan, metode dan taktik perang, masalah
sex, tabiat binatang, arsitektur, dan lain sebagainya. Karena keberagaman
isinya, dan selalu menjadi sumber rujukan bagi masyarakat di zamannya maka
layak bila naskah-naskah kuno ini disebut sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana menyosialisasi nilai-nilai yang terkandung dalam naskah lontaraq? Dan 2) Bagaimana membuat model penyimpanan dan
penyelamatan naskah yang efisien dan efektif serta mudah diakses seiring dengan
perkembangan teknologi informasi?
Tujuan penelitian ini adalah melestaraikan
nilai-nilai budaya dalam naskah lontaraq Sulawesi Selatan melalui penelusuran,
deskripsi serta alih media penyimpanan. Jadi tujuan dapat dirinci: 1) Untuk menyosialisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam naskah lontaraq
Sulawesi Selatan; dan 2) Untuk
membuat model penyimpanan naskah lontaraq yang efisien dan efektif sesuai
dengan perkembangan teknologi.
Penggunaan hasil penelitian ini tidak tergantung pada waktu dan tempat.
Keadaan ini akan membangun jiwa kemandirian dan tanggung jawab pada mahasiswa
atau peneliti yang menggunakanya, karena mereka tidak perlu menunggu instruksi
dari gurunya dalam mengkaji naskah. Mereka tinggal menyesuaikan diri dengan
kesempatan yang dimilikinya.
Selain itu, karena komputer sudah bukan
lagi barang langka bagi penduduk Sulawesi Selatan maka penggunaan bahan akan
lebih cepat, mudah, dan murah. Sebab
dengan sistem digitalisasi, naskah-naskah kuno tersebut dapat diakses
melalui komputer yang memiliki fasilitas CD-Rom.
Selanjutnya manfaat yang tidak kalah
pentingnya adalah, banyak peneliti, mahasiswa, dan pihak-pihak yang tertarik
akan dapat mengakses pada naskah yang sama pada waktu yang bersamaan. Hal ini
merupakan nilai tambah dari digitalisasi naskah, karena dengan sistem
penyimpanan seperti sebelumnya, tentu saja hal seperti ini tidak memungkinkan.
Dan manfaat yang paling penting dari segalanya
adalah naskah asli tetap aman, karena tidak perlu lagi disentuh untuk
mengkajinya dan untuk memahami ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.
E. Penelitian
Terdahulu
Harsya W. Bachtiar (1973) mengatakan
bahwa kebudayaan Nasional hendaknya
berpijak pada sejarah. Suatu kebudayaan yang tidak berakar pada sejarah, maka
kebudayaan tersebut akan mengambang, ia tidak terikat pada apapun dan akibatnya
adalah bangsa itu akan rapuh dan bubar. Maka semakin kuat pengetahuan suatu bangsa
terhadap masa lampaunya maka semakin kuat kebudayaan yang dibangunnya
serta semakin kuat rasa keakuan bangsanya. Argumentasi tersebut memberikan isyarat bahwa memaknai naskah
kuno mempunyai peranan penting bagi
masyarakat pada masa kini dan yang akan datang. Tidak ada penelitian suatu
bangsa yang lebih memadai untuk keperluan penelitian sejarah kecuali melalui
naskah tertulis. Karena lewat dokumen tertulis kita dapat memahami secara
sempurna berbagai rona kehidupan bangsa
itu.
Menurut Suparjo dan John Paterson (2004)
dalam makalahnya mengenai digitalisasi
sebagai upaya preservasi naskah Jawa dalam Simposium Internasional Pernaskahan ke-VIII menegaskan bahwa
digitalisasi naskah sangat penting sebagai upaya melestarikan naskah dan menyebarluaskan isi naskah kepada
masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada tiga model dalam pembuatan situs
naskah, yaitu Situs Katalog untuk mengetahui naskah secara ringkas; Deskripsi bila ingin mengetahui deksripsi dan ikhtisar isi teks dalam naskah; teks bila ingin membaca naskah secara utuh. Pengelompokan tersebut
bertujuan agar naskah mudah diakses dan bertanggungjawab. Digitalisasi naskah
Jawa tersebut telah dilakukan oleh Yayasan Sastra dan sudah berlangsung selama
tiga tahun dengan tujuan menyelamatkan dan menyebarluaskan nilai-nilai luhur
budaya Jawa agar bisa mendunia.
Selain
itu, Satsuki Kato (2004) dalam ulasannya dalam “Digitalisation of Indonesia
manuscipts” dalam Simposium Internasional Pernaskahan ke-VIII di Jakarta, menjelaskan
bahwa naskah-naskah kuno di Indonesia sangat penting dalam membangun
kebudayaan, khususnya naskah-naskah kuno sebagai sumber sejarah. Untuk itu pemerintah Jepang melalui Tokyo
University membuka proyek
digitalisasi berbagai naskah kuno dan sumber-sumber sejarah lisan
yang usianya semakin tua ditelan waktu.
Lokasi penelitian meliputi daerah Wajo,
Bone, dan Soppeng. Pemilihan atas wilayah ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa di ketiga wilayah ini tersimpan banyak naskah, khususnya naskah yang
memuat lontaraq adeq atau Pangaderreng,
Selain itu, kerajaan ini terkenal sebagai kerajaan yang bersekutu yang disebut “Tellupoccoé”.
Meskipun wilayah penelitian ini, tidak mengabaikan daerah lainnya di Sulawesi
Selatan.
Pada tahap awal
kegiatan digitalisasi ini, perhatian pertama akan ditujukan pada naskah-naskah
kuno yang membicarakan masalah pengelolaan pemerintahan, seperti sistem
demokrasi, bagaimana perlakuan pemerintah terhadap rakyat dan sebaliknya, hal
lainnya adalah pesan-pesan toriolo
‘orang-orang tua’ atau penguasa di zamannya
Alasan yang
mendasari dipilihnya tema ini adalah: a) Untuk mengembangkan konsep demokrasi lokal sebagai bagian dari pengembangan
otonomi daerah; b) Naskah
sudah banyak yang rusak; c) Umur
naskah rata-rata tua; d) Dapat jadi sumber rujukan dalam
pengelolaan pemerintahan; dan e) Biaya dan waktu.
C.
Prosedur Analisis
Naskah lontaraq
yang ditemukan, diproses dengan langkah-langkah: 1) didokumentasi dengan cara
digitalisasi; 2) meta data dengan pendekatan Dublin core; dan 3) deskripsi naskah. Teknik deskripsi ini sangat penting demi penyiapan naskah
lontaraq untuk diproses lebih lanjut untuk lebih mengenal nilai-nilai dalam
lontaraq dan atau sebagai sumber utama pengetahuan local masyarakat Sulawesi
Selatan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Sosialisasi, seperti
yang telah dikemukakan di atas, adalah usaha untuk mengubah milik
perseorangan menjadi milik umum (miliki
negara). Cara sosialisasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan deskripsi naskah. Hal ini dimaksudkan agar inti-inti pesan naskah
dapat diketahui masyarkat luas baik nasional maupun internasional. Dengan
demikian, bagi pihak-pihak terkait yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai
isi naskah yang bersangkutan dapat mencari naskah utuhnya dalam CDs yang telah digitalisasi.
Deskripsi naskah adalah cara yang
dilakukan untuk menggambarkan keadaan naskah pada pembaca. Seperti yang
dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pada bagian ini digunakan pola Dublin Core dengan 15 elemen ditambah
dengan 3 elemen modifikasi. Ketiga elemen modifikasi yang dimaksud adalah
pemilik naskah, jenis kertas, dan
asal-usul naskah. Elemen pemilik naskah langsung dimasukkan ke dalam pola
dublin core. Sementara dua informasi berikutnya dapat dilihat pada tabel
inventarisasi hasil penelusuran.
Naskah-naskah lontara yang jumlahnya tiga puluh
tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kategori naskah, yaitu naskah-naskah yang
berbicara masalah a) hukum, keadilan, penegakan adat, dan hak azasi manusia; b)
ajaran moral seperti pentingnya kejujuran: c) kepemimpinan seperti kriteria
pemimpin yang baik, cara-cara memilih pemimpin; d) perjanjian termasuk di
dalamnya tentang perselisihan dan persatuan: dan e) perempuan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini.
Kategori Naskah
|
jumlah
|
%
|
Hukum
|
12
|
40
|
Ajaran Moral
|
3
|
10
|
Kepemimpinan
|
10
|
33,33
|
Perjanjian, perselisihan dan persatuan
|
3
|
10
|
Perempuan
|
2
|
6,66
|
Jumlah Naskah
|
30
|
100
|
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada dua
kategori naskah yang dominan dibicarakan
di daerah Bugis, yakni kategori naskah yang berbicara mengenai hukum, peradilan, dan hak
azasi manusia yang selanjutnya disebut sebagai kelompok hukum (40%) dan
kategori naskah yang berbicara mengenai masalah kepemimpinan ( 33,33%).
Kemudian kategori naskah yang menempati
urutan ketiga ada dua kategori, yakni kategori ajaran moral, seperti pentingnya
kejujuran, dan hubungannya dengan pemerintahan serta kategori perjanjian,
perselisihan dan persatuan. Naskah yang berbicara masalah kehidupan perempuan
hanya dua naskah atau hanya 6,66 %.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa
dalam mendeskripsi naskah-naskah lontara yang ditemukan digunakan pola yang
disebut sistem dublin core. Sistem
ini menggunakan 15 elemen metadata yang diset untuk menfasilitasi penemuan dari
sumber elektronik. Sistem ini aslinya diperuntukkan untuk deskripsi umum pada
sumber WEB. Akan tetapi cocok juga untuk museum dan perpustakaan. Deskripsi ini
disebut juga sebagai metadata karena data yang berbicara tentang data.
C.
Digitalisasi Naskah
Dalam tata urutan kerja yang telah
dirancang sebelumnya, tidak dapat dilakukan sesuai urutannya. Seperti dalam hal
urutan deskripsi setelah alihmediakan. Ternyata di lapangan kami melakukan deskripsi
terlebih dahulu baru kemudian dialihmediakan. Hal ini tidak terlepas dari
sumber daya manusia yang ahli lontaraq tetapi tidak familiar dengan komputer.
Jadi kami mendeskripsikan dahulu baru mengalihmedia.
Dalam tahap proses digitalisasi
, terdapat 30 judul naskah lontara yang
dialihmediakan. Ke-30 judul tersebut diperoleh dari berbagai sumber naskah
seperti dari Lontaraq Attoriolong, Latoa, Pau-pau To riolo, Pangngaderreng,
Lontaraq Wajo, Etiket Kepemimpinan, dan Bettempola. Pengalihmediaannya
dilakukan dengan pemotretan menggunakan kamera digital Panasonic tipe DMC-LC50
dengan pixel 3,200,000. Gambar terekam dengan tipe JPEG dengan rata-rata ukuran
gambar 500,000 hingga kurang lebih 1,000,000 byte dengan warna: 24 bit colour.
Foto-foto naskah tersebut kemudian yang ditransfer ke komputer dan siap untuk
dialihmediakan
. Akan tetapi
sebelum dialihmediakan, naskah-naskah tersebut diklasifikasikan berdasarkan
sumber naskah. Deskripsi-deskripsi naskah dari sumber yang sama akan disatukan,
kemudian rujukan naskah aslinya dapat dilihat pada folder foto naskah.
Deskripsi-deskripsi naskah tersebut semuanya dalam format PDF demi mencegah
perubahan-perubahan yang tidak diinginkan. Setelah semuanya terklasifikasi
dengan baik langkah selanjutnya adalah dengan mengalihmediakannya kedalam Compact Disks (CDs). Jadi hasil akhir
dari deskripsi naskah dalam bentuk CDs. Setiap naskah besar
berisi berpuluh-puluh macam naskah. Naskah yang terpilih untuk dideskripsi
tergantung dari kecocokannya dengan tema penelitian ini. Oleh karena itu, tidak
semua isi naskah dideskripsikan. Hanya topik-topik tertentu yang berbicara
seputar pemerintahan. Keadaan tersebut berbeda dengan pemotretan atas naskah yang diambil secara
utuh, mengingat naskah yang dideskripsi
biasanya masih memiliki kaitan atau hubungan di halaman lainnya. Dengan demikian, pembaca memperoleh naskah
secara lengkap. Hal ini juga merupakan nilai tambah bagi pendokumentasian
naskah sehingga pembaca yang membutuhkan naskah terkait lainnya yang ada dalam
Cds dapat langsung membacanya. Hal lainnya yang ada dalam alihmedia tersebut,
adalah daftar isi halaman yang telah
dideskripsikan dan hubungan dengan naskah lainnya. Ini dilakukan demi
memudahkan pembaca naskah yang mencari naskah-naskah dalam CDs.
Melalui kegiatan penelitian ini diketahui
keadaan nyata dari naskah yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di
daerah Bugis pada khususnya. Naskah-naskah sudah banyak yang rusak dan sudah
tidak dapat dibaca lagi isinya. Kecuali naskah yang sudah difoto copy atau
sudah disalin ulang oleh pemiliknya. Berikut diperlihatkan contoh naskah rusak
yang berhasil diambil di daerah-daerah penelitian.
Contoh (1) naskah lontaraq
yang sudah rusak. Naskah ini difoto (13/07/2005) di Saoraja Mallaga Kabupaten
Wajo. Naskah Milik Datu Sangkuru, Kabupaten Wajo.
Contoh (2): Naskah yang sudah dicopy. Dipotret
pada tanggal 3/10/2005. Naskah milik Bapak A. Muh. Ridha di Takkalala
Soppeng.
Melihat kenyataan di lapangan bahwa
naskah-naskah lontaraq yang ada pada umumnya sudah tidak dapat disentuh karena
berbagai sebab seperti yang telah dikemukakan di atas. Maka kami dari Tim
Peneliti Alih Media Naskah merekomendasikan untuk segera menyelamatkan
naskah-naskah lontaraq yang ada agar segera memprogramkan untuk mendigitalisasi
naskah lontaraq. Dengan demikian, naskah-naskah tersebut dapat diakses
baik secara nasional maupun secara internasional.
Penyelamatan dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama, membeli alat scan mikrofilm. Kemudian menscan
roll film ke format digital dengan kecepatan 100 gambar per menit. Kedua,
dengan menyelamatkan naskah-naskah lontaraq yang masih ada di tangan pemiliknya
dengan cara memotretnya dengan kamera digital, seperti dengan kegiatan
penelitian ini.
Penyelamatan ini, dianjurkan dilakukan
oleh pemerintah daerah baik di Kabupaten maupun di tingkat propinsi yang
mempunyai naskah lontaraq di daerahnya. Setelah naskah terdokumentasi dengan
cara digitalisasi, baru dilaksanakan transliterasi dan terjemahan. Langkah
berikutnya adalah naskah–naskah tersebut dianalisis dan diinterpretasi demi
generasi muda agar lebih mudah memahami isi naskah-naskah.
Disamping itu juga perlu pengkajian
naskah-naskah yang sesuai untuk membuat kurikulum yang bermuatan lokal,
khususnya dalam pengajaran di sekolah-sekolah agar generasi muda dapat memahami
dan mengambil pelajaran dari kearifan lokal.
Setelah melakukan tahap-tahap penelitian
dan melihat kondisi riil di lapangan selama dua bulan seperti :
1. Adanya ketertutupan berbagai pihak,
khususnya para pemilik naskah untuk memberikan akses kepada peneliti untuk
melihat naskah lontaraq. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman masa lalu
mereka, ketika ada beberapa peneliti yang bermaksud melakukan penelitian
naskah. Dan kemudian meminjamkan naskahnya. Setelah dipinjamkan, naskah
tersebut tidak dikembalikan. Kalaupun dikembalikan hanyalah foto copiannya. Sedang
aslinya tak tahu kemana rimbanya. Dari pengalaman masa lalu inilah mereka,
seakan curiga ketika ada peneliti yang bermaksud melihat naskah lontaraq. Perlu
pendekatan khusus untuk mendapatkan
naskah yang dimaksud
2. Tidak adanya perhatian dari generasi muda
untuk mempelajari naskah dan kearifan lokal yang terkandung dalam lontaraq,
sehingga banyak yang tidak memahami dan sanggup membaca naskah lontaraq. Naskah
lontaraq hanya disimpan ditempat yang
tertutup dan cenderung sangat disakralkan.
3. Ternyata dalam naskah lontaraq banyak
mangandung nilai-nilai kearifan yang masih sangat relevan untuk kondisi
kehidupan masa sekarang. Terlebih dengan banyaknya masalah yang dihadapi bangsa
kita saat ini memerlukan waktu untuk introspeksi diri dan mengambil pelajaran
dari kehidupan para leluhur kita yang telah teruji dengan konsep harmosasi
dengan alam sekitarnya.
Berdasarkan
beberapa hal yang telah
dikemukakan diatas, dapat dikatakan
bahwa sangatlah mendesak untuk dilakukan penyelamatan naskah-naskah lontaraq
yang masih tersisa. Dengan melakukan digitalisasi diharapkan upaya penyelamatan
dan kemudian perlunya pengkajian untuk mendapatkan kearifan yang terkandung di
dalamnya sebagai bahan untuk melangkah menuju kehidupan ke depan. Dengan kata
lain kita melakukan pembangunan dengan tidak melepaskan identitas dan jati diri
kita.
Berdasarkan temuan di lapangan, maka kami
menyarankan beberapa hal untuk penyelenggaraan proyek digitalisasi di masa
depan, yaitu :
1. Agar diadakan satu project khusus untuk
penelusuran dan alih media naskah-naskah lontaraq secara keseluruhan keberbagai
daerah, termasuk naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan nasional di
Jakarta, maupun yang ada di luar negeri.
2. Proyek deskripsi naskah dikerjakan secara
tersendiri, demi tersedianya hasil kerja yang maksimal.
3. Untuk mengetahui makna naskah-naskah
secara harfiah dan atau makna bebas maka disarankan pula satu project khusus
untuk transliterasi dan terjemahan naskah-naskah lontaraq.
DAFTAR
PUSTAKA
Burnard,
L.D., and Sperberg-McQueen, C.M., 1995. TEI Lite: An Introduction to Text Encoding for Interchange (TEI U5).
Available from: http://www.hcu.ox.ac.uk/TEI/Lite/
Harsya
W. Bachtiar. 1973. “Filologi dan
Perkembangan Kebudayaan Kita”. Makalah, disampaikan dalam penataran
Filologi dan Sejarah.
Nidya Noegraha, 2000. “Penyelamatan Khasanah Naskah Jawa”. Makalah. Jakarta : Perpustakaan
Nasional RI.
Robinson, P. 1993. The
Digitization of Primary Textual Sources. Oxford: Office for Humanities
Communication Publications.
Supardjo.2003.”Digitalisasi Bahasa dan Sastra Jawa: Suatu
Teknik Penempatan Data dan Penggarapannya Menuju Budaya Nasional dan
Internasional”. Jurnal Linguistika Jawa Vol. 1 No. 01 Feb. 2003. Surakarta:
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
Supardjo dan John Paterson. 2004. “Digitalisasi sebagai salah satu upaya
preservasi naskah Jawa”. Makalah. Jakarta. Simposium
Internasional Pernaskahan Nusantara VIII dan Munas Manassa ke-3 UIN Jakarta
26-28 Juli 2004.
Tiina
Mahlamäki. From the Field to the Net:
Cataloging and digitising Cultural Research Material, diakses di www.utu.fi